Katibung, 03 Maret 2015
Tepatnya ketika malam mulai hening, kuselesaikan kisah
ini tepat pada pukul 10:40 WIB. Semoga tidak ada didunia nyata ‘sakitnya’.
Kisah ini hanya dibuat semata untuk berkarya dan memenuhi permintaan sang
sahabat baru: Desta Ayu Wulandari. Jika ada kesamaan cerita atau nama, itu
murni unsur ketidaksengajaan semata.
Mohon dimaafkan dan silahkan dimanfaatkan jika ada yang baik. Dan
silahkan diabaikan jika ada yang buruk. Ok deh. Selamat membaca.
Kepada
Mawar
Oleh: Shinja Tsaqib
Malam
yang masih sama. Sepi. Aku menyapanya lewat ponsel life tools yang kugenggam
sedari tadi.Tiupan angin menerbangkan dedaunan dan pasir yang sesekali menyapa wajahku. Pandangan sedikit mengabur
karena malam telah pekat. Lalu
lalang kendaraan tak membuatku terusik untuk beranjak dari kursi kayu lapuk
tempatku menghabiskan malam.
Masih
sama, tak ada balasan. Hampir
dua jam lamanya sebelum
akhirnya ponselku berdering.
Dengan hati setengah terkejut tanganku secepat kilat menekan
tombol dan membaca pesan yang masuk;
“tak
usah menungguku, aku telah bahagia. Seharusnya juga denganmu. Aku berada jauh,
tak mungkin untukku menyapamu dalam hari-hari yang terus berlalu. Namun, cinta
dan doaku terus mengalir meski penantianmu harus berakhir. Sudah ya sayang,
malam akan segera pergi sebaiknya kau larut dalam dekapan selimut yang hangat” _yang selalu ingin menjadi saudaramu dalam duka,
dalam suka_
Terulang kembali, rembesan disetiap sudut mataku
menjelma seperti sungai luka yang kembali dialiri asinnya laut, perih. Setiap
malam, aku selalu berharap. Berharap dia
menjelma sebagai seseorang yang sudi datang di dunia
kecilku, dunia sunyi. Di sebuah rumah yang dekat dengan
jalan raya. Suara bising kendaraan sudah kuubah menjadi lagu penantian.
Dia, yang selalu kunanti. Dia, yang setiap pagi aku
jumpai dalam debu jalanan. Kini, tak akan lagi ada senyum manis, sapa hangat
bahkan sekedar lambaian tangan. Aku selalu hening dan penuh luka. Maka hinaan
para penghuni bumi akan kembali menjadi sayatan menyakitkan bahkan lebih sakit
dari sebelum kedatangannya. Sebelum senyum manisnya serta sapa hangatnya yang
mampu mengobati luka hina dan caci. Aku, terlahir tak bersuara. Aku hadir bukan
sebagai orang kaya. Aku hanya seorang wanita yang terbuang bersama aliran
sungai yang tak pernah kuberi nama.
*****
“Mawar, tolong bantu mas Tio mencari bunga untuk
ulangtahun ibunya ya.” Seru bu Yosi sang pemilik toko bunga tempatku bekerja
sekaligus menimang asa.
“Ini mas Tio dibantu Mawar ya, Mawar ini sangat pandai
memilih bunga yang bagus lho”
Bu Yosi sangat baik terhadapku. Lewatnya aku bisa
bertahan hidup dengan layak hingga sekarang.
Dan Tio, seseorang yang kerap datang ke toko bunga
tempatku bekerja mulai memberi harapan baru dihidupku.
“namamu Mawar, cantik seperti mawar ini” puji Tio sembari
mengangkat satu pot berisi mawar putih yang dipilihnya sebagai hadiah
ulangtahun untuk Ibunya. Aku hanya mengangguk malu dengan senyum polos yang
kupunya. Jarang sekali pelanggan bunga sebaik Tio.
Hampir setiap hari, Tio sempatkan berkunjung ke toko
untuk membeli bunga atau sekedar menyapaku dengan terus mencoba memahami
bahasaku. Aku semakin percaya bahwa Tio adalah seseorang yang telah sengaja
Tuhan kirimkan untuk menemaniku mengeja dunia.
Setahun pun berlalu, kehidupanku semakin berwarna. Tio
semakin sibuk karena harus mengajar dibeberapa sekolah. Banyak cerita dan
kekuatan yang terus kukumpulkan lewat tulisan tangan seorang Tio. Seseorang
yang sangat sayang terhadap ibunya. Seseorang yang giat bekerja meski hanya
sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar. Seseorang yang sangat peduli
denganku, keadaanku dan seluruh kelemahanku. Sejak saat itu sapa kami berubah
menjadi sebuah tulisan yang setiap hari dikirim lewat sahabat terdekatku Risa.
Atas kebaikan Risa-lah sapa kami masih terjalin sampai saat ini.
Lelaki pelangi. Begitu aku menyebutnya. Lelaki dengan
sejuta warna yang terus berupaya untuk membaginya denganku. Tio sangat menyukai
sastra. Kerap ia mengirimiku puisi-puisi atau buku sebagai teman kala lengang.
Risa adalah sahabat sejak aku pertama kali ikut bekerja disini, tepatnya
sekitar 7 tahun yang lalu. Kami tinggal bersama di toko ini. Maka sudah seperti
saudara satu-satunya untukku. Dan Tio hadir sebagai penyempurna kehidupanku
saat itu.
Membaca kembali tulisan kesekian kalinya dari Tio, aku
tahu ini bukan pilihan yang cukup bijak. Tapi aku sangat merindukannya. Biarlah
kutunaikan rindu ini meski tak akan pernah berbuah. Meski aku akan semakin
terluka karena rindu yang terus kupertahankan.
Kepada mawar;
jangan kau
tanggalkan deduri di batang.*
aku hanya tersenyum getir membacanya. Pikirku, mana
mungkin aku akan melukainya, sementara dia telah begitu baik terhadapku selama
ini. Kau itu pelangi. Kau itu matahari. Yang akan terus mengindahkan mawar
disetiap taman. Dan aku berjanji, tak akan pernah mampu melukaimu sedikitpun
meski aku harus menanggung luka sedemikian dalamnya. Karena telah terlalu
berharap kepadamu, dan bukan pada-Nya. Yang selama ini sering kau kenalkan
padaku.
Kabar itu seperti petir yang tiba-tiba meledak persis
dekat sekali di depan mataku. Sebuah surat lagi, tapi kali ini aku tak mampu
tersenyum sedikitpun. Aku hanya terdiam
dan memang aku akan terus terdiam tanpa bicara selamanya. Dan tak pernah bisa
mendengar, tapi aku bisa merasakan. Hatiku masih normal tak cacat sedikitpun
seperti suara dan pendengaranku. Kali ini hatiku benar-benar lebur. Tio akan
segera menikah dengan wanita pilihan ibunya. Aku tahu, dia tak akan mungkin
menolak permintaan ibunya, orangtua satusatunya karena sang ayah telah
dipanggil Tuhan sejak ia kecil. Dan aku tidak pernah sedikitpun menyalahkannya
atas setiap yang terjadi selama ini. Tio hanya berusah membagi warna dan
hangatnya persahabatan tanpa memandang siapapun.
Dan aku, memang terluka. Tapi mawar tidak akan pernah
menanggalkan durinya pada batang. Aku tidak akan marah apalagi harus melukai
seseorang yang selama ini telah menjadi batang yang menopang tegaknya mawar.
Tak akan pernah Tio. Aku janji. Akan sekuat hati menatap dunia. Tapi aku tetap
seorang wanita yang terus mengenang apa itu kesakitan.
*****
“Waktu begitu
rahasia. Disembunyikannya masa depan sang kala. Mimpi hanya harap yang cemaskan
jiwa. Angan hanya sebuah lagu nostalgia. Merpati tak lagi bernyanyi. Angin
hanya tawarkan debu. Sisakan rindu yang terlalu pilu. Laut tak lagi biru, ombak
tak lagi merdu. Tapak kaki mulai ragu, kepak mimpi hanya lalu.
Semua yang ingin
dikatakan hilang. Dicuri oleh maaf dan kekosongan. Kemarahan tak pernah
terbiarkan jadi alasan atas setiap kepedihan. Benci hanya lahirkan tatapan yang
ingin dibutakan. Pengkhianatan telah lahirkan ingin untuk dilupakan.
Bagaimana kedua
kaki akan melangkah, karena tujuan tak lagi mempunyai arah. Aku ingin kembali,
dipangkuan seorang wanita yang telah memulai segala. Segala luka dan bahagia.”**
Kuakhiri semua cerita ini. Aku harus terus menatap
dunia sebagai anugerah. Meski tak bisa aku katakan bahwa ini semua, bukan
sesuatu hal yang menyedihkan. Aku benar-benar ingin kembali padaMu. Memohon
pengampunan dan kerelaanMu atas semua hal. Kini aku ikhlaskan setiap perih yang
terus menggerus remuk jiwa. Tapi tak akan kubiarkan aku kehilanganMu. Biarkan
aku bertahan dengan caraku. Asal Kau terus membersamai setiap waktu.
“terkadang, aku perlu menangis untuk kumpulkan
keberanian menghadapi setiap kesulitan. Aku mendapatkan kekuatan setelah aku
mampu mengeluarkan seluruh ketakutan padaMu. Begitu pula, aku menangis untuk
kumpulkan semua kekuatan.”
*****
Tuhan.
Seluruh syukurku tak akan mampu menyembunyikan bahagia ini. Dengan penuh rasa
sadarku, aku mengatakan ini padaMu; aku benarbenar bahagia. Dapat terlanjur
mencintai dan menemui warna itu, membuatku semakin mengenalMu. Memahami bahwa
hidup adalah pilihan. Dan sesuatu yang mereka sering sebut takdir, adalah
sesuatu yang harus aku upayakan agar selalu beriring harap dan persetujuanMu.
Kata
seorang penulis yang bernama Felix Siaw,
bahwa ketika kita masih mampu untuk memilih maka itu adalah pilihan. Dan ketika
kita tak mampu lagi untuk memilih itulah yang disebut takdir. Dy.. kini aku
mengerti, bahwa hidup telah banyak mengajarkan tentang memilih yang terbaik.
Karena Tuhan telah tunjukan jalannya. Dan aku memilih untuk tetap menuju jalan
surga. Meski aku tahu, itu tak mudah. Meski
aku tahu, itu berat. Karena keyakinan yang telah Tio titipkan lewat beberapa
buku dan tulisannya;
“bahwa segala yang berat pasti akan lewat, dan segala
yang gembira pasti juga akan sirna. Tak ada sesuatu yang abadi selain surga.”***
Kini aku pun mulai terus menulis. Dalam lembaran yang
kuberinama Dy. Dear dairy:
Dy..
bersamamu aku bisa. Aku bisa melewati masa sulit dengan menulismu. Dengan terus
berdoa, berharap yang kutunggu tetap baik dan akan selalu baik. Tuhan.. aku
cinta, dan akan selalu cinta. Terimakasih Rabb, telah memberiku begitu banyak
warna, begitu banyak cerita. Semoga kelak aku pantas temuiMu.
“Karena ujung dari sebuah perjalanan berat itu adalah
rasa damai, ketenangan, ketentraman, juga kebahagiaan.”***
Note:
*salah satu puisi dari Ira Sudiharjo’Kepada Mawar’
dalam kumpusnya Reuni Kata. ^_^
**puisi karya shinja tsaqib ‘waktu begitu rahasia’
*** diambil dari buku lapis-lapis keberkahan Salim A.
Fillah.
_Buah dari kelas menulis cerpen yang diisi oleh Desta
Ayu Wulandari. Gadis petualang yang baru saja menyelesaikan S.1 sastranya di
universitas Diponegoro ini asyik banget lho ngisi kelas menulis FLP Cabang
Lam-sel pada ahad, 1 Maret 2015 yang lalu. Hmmmm, pasti ketagihan deh! Dijamin.
Yuk terus menulis. Pesannya yang paling jempol adalah ‘kalo si ilham dateng
jangan dicuekin ya, cepet ditulis biar jadi ide terus jadi tema’ nah… terus
terus jadi cerita deh.. terus.. kalo mw tau selanjutnya terus jadi apa, gabung
aja deh di FLP pasti seru!
Eits… cerita diatas ini bukan sembarang cerita, tuh
tema yang kasih khusus sang pemateri. Kebetulan saya kedapetan tema’kejujuran
yang memberatkan’, so…. Jadilah begini.. haha. Kejujuran yang memberatkan; udah berat belom yah tu cerita… ;) kita
lihat tema yang berbeda dari teman yang hadir kelas nulis ya… hayo ditunggu lho
ceritanya…. semanggis… semangat menulis.