Semuanya bermula tanpa aku pernah mengetahui sebelumnya. Semuanya berawal dari ketidaktahuan. Semuanya berasal dari hati yang merasa. Hanya hati yang membisik tanpa terdengar oleh apapun kecuali pendengaranNya. Bahkan otakku pun tak sempat berfikir untuk memutuskan.
Sejarah
aku berada disini hingga saat sekarang ini tak ada yang bisa menerka. Hanya
kebaikanNya-lah yang mampu mengirimkan segala kebaikan dan perubahan serta
hidayah kepadaku.
Beberapa
waktu yang lalu ketika aku mulai mengenal dan mengeja nama mentoring. Setiap
detik adalah udara baru yang kuhirup. Udara pengetahuan yang akan menerangkan
yang masih gelap dan buram. Setiap pekan berkumpul duduk melingkar tanpa aku
pernah bertanya mengapa. Aku ikuti karena hatiku meyakinkan, ini jalanku.
Bersama,
sendiri ataupun sunyi tak akan merubah sesuatu yang ada. Sesuatu yang akan
memberikan kebaikan kepada diri. Sesuatu yang akan memberatkan timbangan
kebaikan. Sesuatu yang akan melelehkan keridhaanNya padaku, padamu dan pada
kita. Sesuatu itu adalah niat keikhlasan karenaNya.
Tepatnya
pada tahun 2008 silam, aku mulai merapatkan dalam barisan mentoring kampusku.
Pembagian kelompok dimulai dan akupun telah mempunyai murobbi baru. Seorang
wanita yang penuh dengan kelembutannya membimbing kami untuk terus
mengingatNya.
Seiring
dengan bergantinya kalender tahun, berganti pula murabbi dalam kelompok
mentoringku, termasuk harus berpisah dengan teman-teman satu kelompok. “baru
saja kami akan mengakrabkan diri, baru saja kami dapat saling memahami dan
hampir dekat. Tiba waktunya untuk berpisah. Sungguh rasa yang kurang
mengenakkan” gumamku dalam hati.
Namun,
perpisahan ini hanya dalam pembelajaran saja. Di luar sana kita masih bisa
berkumpul. Tetapi memang tetap berbeda rasa. Kami tetap meyakini ini memang
jalannya, agar kita dapat terus saling membuka diri untuk terus memahami setiap
orang yang berbeda yang hadir bersama kita.
Aku
tidak akan banyak menceritakan apa yang dilakukan saat mentoring. Namun, aku
lebih memilih untuk bercerita tentang diri yang mengikuti mentoring. Kau tahu,
apa yang membuatku bertahan dan tetap duduk melingkar disini?
Rasa
yang terus akan melekat tanpa bisa dihilangkan. Ini kudapatkan dari terus
melingkar setiap pekan. Mungkin orang diluar sana melihat aneh dengan duduk
kami yang melingkar dan mengaji lalu membicarakan hal-hal yang mereka terkadang
tidak tahu apa. Mereka, yang diluar sana adalah seperti pagar, tak mau
mendekat. Itulah yang membuat mereka tak tahu. Entahlah.
Sebagian
dari temanku yang belum mengikuti mentoring sering bertanya. Apa sih yang kamu
lakukan ketika duduk melingkar? “mengingatNya, mengejaNya, dan terus akan
seperti itu” gumamku tanpa menjawabnya, hanya mengajaknya untuk ikut melingkar.
***
Hidayah
itu milik Allah bukan? Beberapa teman yang kuajak melingkar pun satu persatu
hilang. Ada yang bertahan, ada yang berjalan entah kearah mana. Belum jelas.
“Dan aku tetap
melingkar. Karena satu hal. Karena aku belum mampu mengejaNya dengan sempurna.
Mengeja setiap perintahNya, mengeja setiap yang dilarangNya, dan mengeja setiap
ayat-ayatNya.”
Belum
genap aku mencintaiNya dengan menyadari bahwa aku adalah milikNya seutuhnya.
Karena itu aku akan tetap melingkar. mengingatNya bersama sahabat yang
merelakan waktunya untuk menekuni kepayahan demi keridhaanNya.
Aku
tahu, tidak mudah bertahan dan terus dalam lingkaran. Bersyukurlah atas
kebaikanNya kepada kita. Bersyukurlah atas karuniaNya memberikan kita teman
dalam kepayahan ini.
Hujan
atau pelangi yang akan aku rasakan dalam jalan ini, aku akan terus duduk
melingkar. Meski hati ini terkadang rapuh, namun akan tetap terjaga ketika kita
tetap bersama orang-orang yang terus mengingatNya. Dan itulah yang pernah aku
rasakan.
“Dan aku tetap
melingkar. Karena satu hal. Karena aku belum mampu mengejaNya dengan sempurna.
Mengeja setiap perintahNya, mengeja setiap yang dilarangNya, dan mengeja setiap
ayat-ayatNya.”
Semuanya
akan menjadi indah pada waktunya. Dan aku meyakini, ini jalanku.
“ini ceritaku
apa ceritamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar