Senin, 30 Maret 2015

Kepada Mawar



Katibung, 03 Maret 2015
Tepatnya ketika malam mulai hening, kuselesaikan kisah ini tepat pada pukul 10:40 WIB. Semoga tidak ada didunia nyata ‘sakitnya’. Kisah ini hanya dibuat semata untuk berkarya dan memenuhi permintaan sang sahabat baru: Desta Ayu Wulandari. Jika ada kesamaan cerita atau nama, itu murni unsur ketidaksengajaan semata.   Mohon dimaafkan dan silahkan dimanfaatkan jika ada yang baik. Dan silahkan diabaikan jika ada yang buruk. Ok deh. Selamat membaca.

Kepada Mawar

Oleh:  Shinja Tsaqib

Malam yang masih sama. Sepi. Aku menyapanya lewat ponsel life tools yang kugenggam sedari tadi.Tiupan angin menerbangkan dedaunan dan pasir yang sesekali menyapa wajahku. Pandangan sedikit mengabur karena malam telah pekat. Lalu lalang kendaraan tak membuatku terusik untuk beranjak dari kursi kayu lapuk tempatku menghabiskan malam.

Masih sama, tak ada balasan. Hampir dua jam lamanya sebelum akhirnya ponselku berdering.
Dengan hati setengah terkejut tanganku secepat kilat menekan tombol dan membaca pesan yang masuk;

“tak usah menungguku, aku telah bahagia. Seharusnya juga denganmu. Aku berada jauh, tak mungkin untukku menyapamu dalam hari-hari yang terus berlalu. Namun, cinta dan doaku terus mengalir meski penantianmu harus berakhir. Sudah ya sayang, malam akan segera pergi sebaiknya kau larut dalam dekapan selimut yang hangat” _yang selalu ingin menjadi saudaramu dalam duka, dalam suka_

Terulang kembali, rembesan disetiap sudut mataku menjelma seperti sungai luka yang kembali dialiri asinnya laut, perih. Setiap malam, aku selalu berharap. Berharap dia menjelma sebagai seseorang yang sudi datang di dunia kecilku, dunia sunyi. Di sebuah rumah yang dekat dengan jalan raya. Suara bising kendaraan sudah kuubah menjadi lagu penantian.

Dia, yang selalu kunanti. Dia, yang setiap pagi aku jumpai dalam debu jalanan. Kini, tak akan lagi ada senyum manis, sapa hangat bahkan sekedar lambaian tangan. Aku selalu hening dan penuh luka. Maka hinaan para penghuni bumi akan kembali menjadi sayatan menyakitkan bahkan lebih sakit dari sebelum kedatangannya. Sebelum senyum manisnya serta sapa hangatnya yang mampu mengobati luka hina dan caci. Aku, terlahir tak bersuara. Aku hadir bukan sebagai orang kaya. Aku hanya seorang wanita yang terbuang bersama aliran sungai yang tak pernah kuberi nama.

*****
“Mawar, tolong bantu mas Tio mencari bunga untuk ulangtahun ibunya ya.” Seru bu Yosi sang pemilik toko bunga tempatku bekerja sekaligus menimang asa.
“Ini mas Tio dibantu Mawar ya, Mawar ini sangat pandai memilih bunga yang bagus lho”
Bu Yosi sangat baik terhadapku. Lewatnya aku bisa bertahan hidup dengan layak hingga sekarang.
Dan Tio, seseorang yang kerap datang ke toko bunga tempatku bekerja mulai memberi harapan baru dihidupku.

“namamu Mawar, cantik seperti mawar ini” puji Tio sembari mengangkat satu pot berisi mawar putih yang dipilihnya sebagai hadiah ulangtahun untuk Ibunya. Aku hanya mengangguk malu dengan senyum polos yang kupunya. Jarang sekali pelanggan bunga sebaik Tio.

Hampir setiap hari, Tio sempatkan berkunjung ke toko untuk membeli bunga atau sekedar menyapaku dengan terus mencoba memahami bahasaku. Aku semakin percaya bahwa Tio adalah seseorang yang telah sengaja Tuhan kirimkan untuk menemaniku mengeja dunia.

Setahun pun berlalu, kehidupanku semakin berwarna. Tio semakin sibuk karena harus mengajar dibeberapa sekolah. Banyak cerita dan kekuatan yang terus kukumpulkan lewat tulisan tangan seorang Tio. Seseorang yang sangat sayang terhadap ibunya. Seseorang yang giat bekerja meski hanya sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar. Seseorang yang sangat peduli denganku, keadaanku dan seluruh kelemahanku. Sejak saat itu sapa kami berubah menjadi sebuah tulisan yang setiap hari dikirim lewat sahabat terdekatku Risa. Atas kebaikan Risa-lah sapa kami masih terjalin sampai saat ini.

Lelaki pelangi. Begitu aku menyebutnya. Lelaki dengan sejuta warna yang terus berupaya untuk membaginya denganku. Tio sangat menyukai sastra. Kerap ia mengirimiku puisi-puisi atau buku sebagai teman kala lengang. Risa adalah sahabat sejak aku pertama kali ikut bekerja disini, tepatnya sekitar 7 tahun yang lalu. Kami tinggal bersama di toko ini. Maka sudah seperti saudara satu-satunya untukku. Dan Tio hadir sebagai penyempurna kehidupanku saat itu.

Membaca kembali tulisan kesekian kalinya dari Tio, aku tahu ini bukan pilihan yang cukup bijak. Tapi aku sangat merindukannya. Biarlah kutunaikan rindu ini meski tak akan pernah berbuah. Meski aku akan semakin terluka karena rindu yang terus kupertahankan.

Kepada mawar;
 jangan kau tanggalkan deduri di batang.*

aku hanya tersenyum getir membacanya. Pikirku, mana mungkin aku akan melukainya, sementara dia telah begitu baik terhadapku selama ini. Kau itu pelangi. Kau itu matahari. Yang akan terus mengindahkan mawar disetiap taman. Dan aku berjanji, tak akan pernah mampu melukaimu sedikitpun meski aku harus menanggung luka sedemikian dalamnya. Karena telah terlalu berharap kepadamu, dan bukan pada-Nya. Yang selama ini sering kau kenalkan padaku.

Kabar itu seperti petir yang tiba-tiba meledak persis dekat sekali di depan mataku. Sebuah surat lagi, tapi kali ini aku tak mampu tersenyum sedikitpun. Aku  hanya terdiam dan memang aku akan terus terdiam tanpa bicara selamanya. Dan tak pernah bisa mendengar, tapi aku bisa merasakan. Hatiku masih normal tak cacat sedikitpun seperti suara dan pendengaranku. Kali ini hatiku benar-benar lebur. Tio akan segera menikah dengan wanita pilihan ibunya. Aku tahu, dia tak akan mungkin menolak permintaan ibunya, orangtua satusatunya karena sang ayah telah dipanggil Tuhan sejak ia kecil. Dan aku tidak pernah sedikitpun menyalahkannya atas setiap yang terjadi selama ini. Tio hanya berusah membagi warna dan hangatnya persahabatan tanpa memandang siapapun.

Dan aku, memang terluka. Tapi mawar tidak akan pernah menanggalkan durinya pada batang. Aku tidak akan marah apalagi harus melukai seseorang yang selama ini telah menjadi batang yang menopang tegaknya mawar. Tak akan pernah Tio. Aku janji. Akan sekuat hati menatap dunia. Tapi aku tetap seorang wanita yang terus mengenang apa itu kesakitan.

*****
“Waktu begitu rahasia. Disembunyikannya masa depan sang kala. Mimpi hanya harap yang cemaskan jiwa. Angan hanya sebuah lagu nostalgia. Merpati tak lagi bernyanyi. Angin hanya tawarkan debu. Sisakan rindu yang terlalu pilu. Laut tak lagi biru, ombak tak lagi merdu. Tapak kaki mulai ragu, kepak mimpi hanya lalu.
Semua yang ingin dikatakan hilang. Dicuri oleh maaf dan kekosongan. Kemarahan tak pernah terbiarkan jadi alasan atas setiap kepedihan. Benci hanya lahirkan tatapan yang ingin dibutakan. Pengkhianatan telah lahirkan ingin untuk dilupakan.
Bagaimana kedua kaki akan melangkah, karena tujuan tak lagi mempunyai arah. Aku ingin kembali, dipangkuan seorang wanita yang telah memulai segala. Segala luka dan bahagia.”**

Kuakhiri semua cerita ini. Aku harus terus menatap dunia sebagai anugerah. Meski tak bisa aku katakan bahwa ini semua, bukan sesuatu hal yang menyedihkan. Aku benar-benar ingin kembali padaMu. Memohon pengampunan dan kerelaanMu atas semua hal. Kini aku ikhlaskan setiap perih yang terus menggerus remuk jiwa. Tapi tak akan kubiarkan aku kehilanganMu. Biarkan aku bertahan dengan caraku. Asal Kau terus membersamai setiap waktu.

“terkadang, aku perlu menangis untuk kumpulkan keberanian menghadapi setiap kesulitan. Aku mendapatkan kekuatan setelah aku mampu mengeluarkan seluruh ketakutan padaMu. Begitu pula, aku menangis untuk kumpulkan semua kekuatan.”

*****
Tuhan. Seluruh syukurku tak akan mampu menyembunyikan bahagia ini. Dengan penuh rasa sadarku, aku mengatakan ini padaMu; aku benarbenar bahagia. Dapat terlanjur mencintai dan menemui warna itu, membuatku semakin mengenalMu. Memahami bahwa hidup adalah pilihan. Dan sesuatu yang mereka sering sebut takdir, adalah sesuatu yang harus aku upayakan agar selalu beriring harap dan persetujuanMu.

Kata seorang penulis yang bernama Felix Siaw, bahwa ketika kita masih mampu untuk memilih maka itu adalah pilihan. Dan ketika kita tak mampu lagi untuk memilih itulah yang disebut takdir. Dy.. kini aku mengerti, bahwa hidup telah banyak mengajarkan tentang memilih yang terbaik. Karena Tuhan telah tunjukan jalannya. Dan aku memilih untuk tetap menuju jalan surga. Meski aku tahu, itu tak mudah. Meski aku tahu, itu berat. Karena keyakinan yang telah Tio titipkan lewat beberapa buku dan tulisannya;
“bahwa segala yang berat pasti akan lewat, dan segala yang gembira pasti juga akan sirna. Tak ada sesuatu  yang abadi selain surga.”***

Kini aku pun mulai terus menulis. Dalam lembaran yang kuberinama Dy. Dear dairy:

Dy.. bersamamu aku bisa. Aku bisa melewati masa sulit dengan menulismu. Dengan terus berdoa, berharap yang kutunggu tetap baik dan akan selalu baik. Tuhan.. aku cinta, dan akan selalu cinta. Terimakasih Rabb, telah memberiku begitu banyak warna, begitu banyak cerita. Semoga kelak aku pantas temuiMu.

“Karena ujung dari sebuah perjalanan berat itu adalah rasa damai, ketenangan, ketentraman, juga kebahagiaan.”***

Note:
*salah satu puisi dari Ira Sudiharjo’Kepada Mawar’ dalam kumpusnya Reuni Kata. ^_^
**puisi karya shinja tsaqib ‘waktu begitu rahasia’
*** diambil dari buku lapis-lapis keberkahan Salim A. Fillah.

_Buah dari kelas menulis cerpen yang diisi oleh Desta Ayu Wulandari. Gadis petualang yang baru saja menyelesaikan S.1 sastranya di universitas Diponegoro ini asyik banget lho ngisi kelas menulis FLP Cabang Lam-sel pada ahad, 1 Maret 2015 yang lalu. Hmmmm, pasti ketagihan deh! Dijamin. Yuk terus menulis. Pesannya yang paling jempol adalah ‘kalo si ilham dateng jangan dicuekin ya, cepet ditulis biar jadi ide terus jadi tema’ nah… terus terus jadi cerita deh.. terus.. kalo mw tau selanjutnya terus jadi apa, gabung aja deh di FLP pasti seru!

Eits… cerita diatas ini bukan sembarang cerita, tuh tema yang kasih khusus sang pemateri. Kebetulan saya kedapetan tema’kejujuran yang memberatkan’, so…. Jadilah begini.. haha. Kejujuran yang memberatkan; udah berat belom yah tu cerita… ;) kita lihat tema yang berbeda dari teman yang hadir kelas nulis ya… hayo ditunggu lho ceritanya….  semanggis… semangat menulis.