Kesedihanku karena terlalu jauh berpura tak memedulikanmu.
Nyatanya bertambah luka melihatmu terluka lagi. Dan kali ini, lebih memedihkan
daripada dulu. Kau terbaring. Lemah sekali. Bahkan mengangkat telunjukmu saja
hampir tak mampu. Kau begitu layu, selayu bibirku yang menjadi tak terbiasa
untuk sekedar tersenyum. Semua mendung. Tidak langit tidak mata tidak muka.
Terlambat. Ketika doadoa terus kusematkan untukmu. Kau telah
terlanjur jatuh. Diseparuh malam hening. Langit memucat hampir tumpah. Padahal,
kau sempat bilang sudah lebih membaik sebelum luka kembali menghantammu
tiba-tiba. Membabi buta. Aku tahu, kau sungguh sudah merasa benar ketika itu.
Tapi takdir, menyeretmu kembali pada perih, yang membuatmu tak mampu menyapaku.
Senja itu. Di sebuah rumas sakit umum. Tak sengaja ketika
aku berkeliling untuk sekedar mensyukuri kesehatanku. Tetiba pandanganku
tertambat pada sekujur tubuh yang hening. Membisu. Aku semakin melekatkan kedua
mataku, berharap menemukan petanda bahwa tubuh itu milik seseorang yang sempat
kukenali. Kembali, manikmanik mata menghiasi wajahku yang memang tak terlalu
bahagia kala itu. Lukamu menjadi lukaku juga.
Entah, aku menjadi begitu berani. Memandangi wajah yang dulu
selalu sumringah, kini tak kutemukan segores sabit dibibirnya. Hanya kepucatan
dan kerapuhan yang terlihat. Matanya masih lelap, entah mimpi apa yang sedang
ia lakoni. Masih sebagai manusia pemberi cahaya atau hanya gelap yang ia sapa.
Aku semakin basah, rasaku lebur bersama luka yang masih melelapkannya.
Tak ada sesiapapun disini. Dia sendiri. Semakin menambah
keterasinganku dalam mimpimimpi yang masih terlalu dini. Tanpamu, entah apa
jadinya aku. Bukan aku, tapi mimpimu yang terlanjur menjadi mimpiku. Terlanjur
menjadi aku.
Kuraba dinding kaca yang seolah dekat dengan wajahmu. Menyentuhmu agar tak terlalu sepi. Berharap
rasa ini tersampaikan pada hati yang ada jauh didalam sana. Dalam diri yang
sedang tak berdaya. Sedang terbaring menunggu doadoa terijabah segera. Menunggu
tubuh itu kembali bergerak dan bangkit dalam gemuruh mantramantra, diantara
tengadah tangantangan cinta.
Masih hening. Matamata kembali menumpahkan bah tak
berkesudahan. Mulutmulut kembali bergumam menasbihkan pintapinta panjang.
Memandangimu yang tak jua bergeming, masih hening. Apa yang sebenarnya sedang
kau impikan? Hingga penantian demi penantian tak juga kau hiraukan.
Dan kembali, pandanganku terus memandangimu. Kau semakin
kelabu. Tak pernah serapuh ini yang kukenal. Tak pernah selayu ini yang
kupandang. Apakah aku harus memaksakan diri untuk masuk dan meletakkan tanganku
diatas keningmu. Seperti perintah ibu. Berharap tangan ini mampu sampaikan
segala rasa segala pinta, agar mata itu kembali terbuka melihat dunia. Mata
yang terlihat begitu berwarna, begitu istimewa.
Ah, aku masih ragu. Apa benar begitu. Apa benar tangan ini
tangan cinta. Yang mampu membangunkan tidur panjangmu yang sepertinya sudah
terlalu nyenyak. Mungkin aku akan mencobanya, menelangkupkan tanganku diatas
tangan ibumu yang diatas keningmu. Semoga tangantangan ini mampu menembus
duniamu yang sudah terlalu kau akrabi sejak separuh tahun ini.
Dunia pelangi, 2014