Sabtu, 25 Januari 2014

Terluka lagi




Kesedihanku karena terlalu jauh berpura tak memedulikanmu. Nyatanya bertambah luka melihatmu terluka lagi. Dan kali ini, lebih memedihkan daripada dulu. Kau terbaring. Lemah sekali. Bahkan mengangkat telunjukmu saja hampir tak mampu. Kau begitu layu, selayu bibirku yang menjadi tak terbiasa untuk sekedar tersenyum. Semua mendung. Tidak langit tidak mata tidak muka. 

Terlambat. Ketika doadoa terus kusematkan untukmu. Kau telah terlanjur jatuh. Diseparuh malam hening. Langit memucat hampir tumpah. Padahal, kau sempat bilang sudah lebih membaik sebelum luka kembali menghantammu tiba-tiba. Membabi buta. Aku tahu, kau sungguh sudah merasa benar ketika itu. Tapi takdir, menyeretmu kembali pada perih, yang membuatmu tak mampu menyapaku.

Senja itu. Di sebuah rumas sakit umum. Tak sengaja ketika aku berkeliling untuk sekedar mensyukuri kesehatanku. Tetiba pandanganku tertambat pada sekujur tubuh yang hening. Membisu. Aku semakin melekatkan kedua mataku, berharap menemukan petanda bahwa tubuh itu milik seseorang yang sempat kukenali. Kembali, manikmanik mata menghiasi wajahku yang memang tak terlalu bahagia kala itu. Lukamu menjadi lukaku juga.

Entah, aku menjadi begitu berani. Memandangi wajah yang dulu selalu sumringah, kini tak kutemukan segores sabit dibibirnya. Hanya kepucatan dan kerapuhan yang terlihat. Matanya masih lelap, entah mimpi apa yang sedang ia lakoni. Masih sebagai manusia pemberi cahaya atau hanya gelap yang ia sapa. Aku semakin basah, rasaku lebur bersama luka yang masih melelapkannya.

Tak ada sesiapapun disini. Dia sendiri. Semakin menambah keterasinganku dalam mimpimimpi yang masih terlalu dini. Tanpamu, entah apa jadinya aku. Bukan aku, tapi mimpimu yang terlanjur menjadi mimpiku. Terlanjur menjadi aku.

Kuraba dinding kaca yang seolah dekat dengan wajahmu.  Menyentuhmu agar tak terlalu sepi. Berharap rasa ini tersampaikan pada hati yang ada jauh didalam sana. Dalam diri yang sedang tak berdaya. Sedang terbaring menunggu doadoa terijabah segera. Menunggu tubuh itu kembali bergerak dan bangkit dalam gemuruh mantramantra, diantara tengadah tangantangan cinta.

Masih hening. Matamata kembali menumpahkan bah tak berkesudahan. Mulutmulut kembali bergumam menasbihkan pintapinta panjang. Memandangimu yang tak jua bergeming, masih hening. Apa yang sebenarnya sedang kau impikan? Hingga penantian demi penantian tak juga kau hiraukan.

Dan kembali, pandanganku terus memandangimu. Kau semakin kelabu. Tak pernah serapuh ini yang kukenal. Tak pernah selayu ini yang kupandang. Apakah aku harus memaksakan diri untuk masuk dan meletakkan tanganku diatas keningmu. Seperti perintah ibu. Berharap tangan ini mampu sampaikan segala rasa segala pinta, agar mata itu kembali terbuka melihat dunia. Mata yang terlihat begitu berwarna, begitu istimewa.

Ah, aku masih ragu. Apa benar begitu. Apa benar tangan ini tangan cinta. Yang mampu membangunkan tidur panjangmu yang sepertinya sudah terlalu nyenyak. Mungkin aku akan mencobanya, menelangkupkan tanganku diatas tangan ibumu yang diatas keningmu. Semoga tangantangan ini mampu menembus duniamu yang sudah terlalu kau akrabi sejak separuh tahun ini.

Dunia pelangi, 2014



Minggu, 05 Januari 2014

Puisi terindah



Udara masih meronakan dingin yang gigil. Membasuh bulu kudukku hingga enggan terlelap. Dan jemari masih saja mengingat kenangan tentang puisi. Puisi terindah yang tanpa sengaja selalu kutulis untukmu. Beruntung sekali Allah merencanakan ini kepadaku. Merencanakan bahagia dan luka beriringan. Membuat emosiku tibatiba datang dan hilang. Membuat jemariku terus menekan tiap huruf dengan memikirkanmu. Dengan khayalku mengubah segala. Mengubahmu menjadi seperti mauku. Tanpa harus ada yang terluka. Karena aku hanya mampu bergeming di dunia kecilku. ‘Raja’ jiwaku menyepi.

Membuatmu menjadi seperti mauku. Seperti pelangi. Warna yang tak akan pernah habis kuceritakan. Karena penghabisannya ada padamu. Sementara ini aku masih terus menuliskannya pada semesta. Biar saja alam mengutukku menjadi penyair pelangi. Karena hariku akan terus kuisi dengan menuliskanmu; pelangiku.

Puisi terindah. Menurutku untukmu. Karena tak ada lagi yang mampu kutulis selain mengisahkan setiap jeda peristiwa. Tentangmu. Tapi lagilagi kau tak perlu membuntutiku, hanya karena awal aku menulis ada kamu. Selanjutnya, ya maumauku menuliskannya. Menceritakannya. Mendendangkannya. Karena pada yang sebenarnya dirimu hanyalah sebagai yang datang dan pergi. Dan terimakasih atas kedatangan dan kepergian yang kau peruntukkan pada nafas yang masih ada. Pada detak yang masih sama.

Terimakasih, karena ini aku begini. Karena itu aku begitu. Begitu terus bergairah untuk menarikan jemariku tanpa henti. Mengisahkan segala yang pernah ada. Denganmu dan tanpamu. Aku akan tetap mengisi semesta dengan pelangi yang masih akan terus kuwarnai.

Mengabadi dan membiarkan segala. Dalam pengejaanku pada setiap prosa yang kutulis. Semoga semesta terus mengutukku. Bercahaya dalam kehidupan dan kematianku. Selamat jalan.

9 Muharam 1435 H




Aku senang kamu bahagia



Sedari awal, tak banyak yang aku harapkan dari pertemanan kita yang kadang jadikan pelangi buatku. Entah bagaimana denganmu. Semoga iya semoga juga tidak. Tidak penting. Karena aku punya alasan mengapa ini mengapa itu. Intinya aku ingin bahagia, dan menurutku begitu juga denganmu. Jadilah, aku tawarkan pertemanan simbiosis mutualisme. So, gak ada masalah kan dengan pertemanan ini?

Ketika semuanya saling nyambung sepertinya aku jadi tak sendiri. Oke, lanjutkan. Dan intinya aku cuma mau bilang; aku senang, kamu bilang bahagia. Jadi tak ada yang salah dengan ini. Setelah kamu bahagia, semoga aku pun akan cepat-cepat bilang; aku bahagia!^^


Sabtu, 04 Januari 2014

Persembahan


_Shinja Tsaqib_


sebenarnya aku percaya dan selalu akan percaya pada-Mu
setidaknya itulah impian terbesarku
; dapat selalu mempercayai-Mu apapun yang terjadi
bahkan jika aku pun harus mati tanpa bahagia yang selama ini kutunggu

tapi lagilagi itu cuma khayalku,
bisa sekuat baja menghadapi segala ujian dari-Mu
itu semua karena aku yakin bahwa Kau
tak akan membiarkanku terlalu sakit menahan beban
yang tak mampu kukuatkan

aku butuh kau lebih dekat mendekapku
lebih lama merangkulku, mengusap halus hatiku
aku butuh kau selalu disisiku Tuhan

hanya Kau yang kupunya dan mempunyaiku
saat ini dan nanti
kiranya kau selalu sudi menerima segala dariku
khilaf yang terkadang selalu kulakukan

terimalah aku disisi-Mu
aku ingin merapal sunyi ditempat terbaikku
tempat yang telah Kau siapkan
entah kapan Tuhan
aku masih menunggu
; menunggu-Mu benarbenar datang menyapa jiwa yang sedang pilu

jika aku memang harus menangis
maka aku akan menangis semauku
selama apapun itu asal tak ada yang tahu
akan kukuras habis air mata
biarkan aku sendiri dalam segala kedukaan yang entah tak mampu kuartikan

jika matahari telah bersinar,
maka aku harus menceraikan duka
harus siap membagi kedamaian
yang seolah selalu kupunya

“kau tahu, malammalamku adalah kesunyian bergerimis. Dan siangku adalah tawa tanpa jeda”

Tuhan, aku ingin cinta
dapat mencintai-Mu dengan seluruh aku
adalah hal terindah dan terbesar dalam segala

aku akan selalu berharap
;mencintai-Mu dengan seluruh aku


Mencari Sebuah Masjid - karya; Taufik Ismail



Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata
‘Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan’
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air yang terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran  
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.

Jeddah, 30 Januari 1988