Udara masih meronakan dingin yang gigil. Membasuh bulu
kudukku hingga enggan terlelap. Dan jemari masih saja mengingat kenangan
tentang puisi. Puisi terindah yang tanpa sengaja selalu kutulis untukmu.
Beruntung sekali Allah merencanakan ini kepadaku. Merencanakan bahagia dan luka
beriringan. Membuat emosiku tibatiba datang dan hilang. Membuat jemariku terus
menekan tiap huruf dengan memikirkanmu. Dengan khayalku mengubah segala.
Mengubahmu menjadi seperti mauku. Tanpa harus ada yang terluka. Karena aku
hanya mampu bergeming di dunia kecilku. ‘Raja’ jiwaku menyepi.
Membuatmu menjadi seperti mauku. Seperti pelangi. Warna yang
tak akan pernah habis kuceritakan. Karena penghabisannya ada padamu. Sementara
ini aku masih terus menuliskannya pada semesta. Biar saja alam mengutukku
menjadi penyair pelangi. Karena hariku akan terus kuisi dengan menuliskanmu;
pelangiku.
Puisi terindah. Menurutku untukmu. Karena tak ada lagi yang
mampu kutulis selain mengisahkan setiap jeda peristiwa. Tentangmu. Tapi lagilagi
kau tak perlu membuntutiku, hanya karena awal aku menulis ada kamu.
Selanjutnya, ya maumauku menuliskannya. Menceritakannya. Mendendangkannya.
Karena pada yang sebenarnya dirimu hanyalah sebagai yang datang dan pergi. Dan
terimakasih atas kedatangan dan kepergian yang kau peruntukkan pada nafas yang
masih ada. Pada detak yang masih sama.
Terimakasih, karena ini aku begini. Karena itu aku begitu.
Begitu terus bergairah untuk menarikan jemariku tanpa henti. Mengisahkan segala
yang pernah ada. Denganmu dan tanpamu. Aku akan tetap mengisi semesta dengan
pelangi yang masih akan terus kuwarnai.
Mengabadi dan membiarkan segala. Dalam pengejaanku pada
setiap prosa yang kutulis. Semoga semesta terus mengutukku. Bercahaya dalam
kehidupan dan kematianku. Selamat jalan.
9 Muharam 1435 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar