Pada angin aku hembuskan
gelora asa
Pada langit aku kirimkan
pesan cinta
Pada ibu aku kecup kenangan
Padaku yang tak pernah
lengang
Selalu ada cahaya yang akan
membuatku riang
Begitulah ibuku bercerita.
***
Aku terlahir sebagai anak yatim. Ayahku meninggal sebelum aku sempat
terlahir ke dunia. Ibu adalah orang pertama yang membuatku menangis dan ibu
jualah orang pertama yang membuatku tertawa. Ibu dan ibu, nama yang kukenal
sebagai orang yang telah merawatku hingga saat ini. Kehidupanku mungkin tidak
teramat menyenangkan bagimu. Karena aku hanya anak seorang buruh cuci. Meski
begitu aku tetap bangga dan bahagia bersama ibuku. Dia teramat berharga
dibandingkan apapun.
Saat ini aku sedang duduk di kelas dua sekolah menengah pertama
(SMP). SMP terbuka tepatnya. Sebuah sekolah gratis yang ada di sebuah desa bernama Pembangunan. Tak banyak yang dapat kulakukan untuk membantu ibuku. Sebelum
berangkat ke sekolah aku luangkan waktu untuk berjualan tahu milik Pak Reso, juragan
tahu terkenal di tempat aku dan ibuku tinggal. Setiap pagi aku pergi ke pasar
tradisional untuk berjualan tahu. Sambil membaca koran dan sesekali beteriak, “
Tahu…tahu…!” aku siapkan asa semoga hari ini tahu yang kubawa cepat habis.
Dengan begitu aku dapat belajar sebelum
sekolah. Di SMP terbuka, aku dan kawan-kawanku masuk siang. Karena itu aku
dapat berjualan tahu di pagi hari.
Bukannya aku malas belajar pada malam hari, tapi aku harus membantu
ibu untuk mencuci pakaian-pakaian yang menjadi pekerjaan sebagai buruh cuci.
Aku tak tega jika membiarkan ibuku melakukannya seorang diri. Tubuhnya mulai
rapuh, kesehatannya-pun semakin buruk. Tapi aku tak berdaya. “Jika ibu tak
bekerja, kamu mau makan apa?” sahut ibu waktu kuutarakan agar ibu berhenti
bekerja. Pikiranku kala itu, biar aku saja yang bekerja dan sekolah aku
tinggalkan saja. Tapi ibu ngotot agar aku tetap bersekolah bagaimanapun
keadaannya.
“Uang hasil jual tahumu simpan saja, itu untuk keperluan sekolahmu,”
sambil pergi ke dapur ibu berkata padaku.
Walau sekolahku gratis, tapi baju dan buku-buku tetap harus membeli
kan? Memang sih, buku bisa pinjem di perpus tapi aku juga ingin punya sendiri,
jadi aku bisa membacanya kapan saja aku mau. Aku lebih menyukai buku-buku sains
dan IPTEK gitu, gak salah jika disekolah nilai mata pelajaran IPA ku selalu
diatas 9. Tetapi terkadang aku suka iseng membeli buku-buku SMA padahal aku
masih kelas 3 SMP sekarang. Pikir-pikir persiapan, siapa tahu… anganku mulai
berlarian kemana-kemana hingga teriakan ibu mengagetkanku “Bintang…Bintang…!”
“Iya bu,” buru-buru ku sahut panggilan ibu dan berlari kearahnya.
***
Jika melihat para ilmuan yang ada di televisi milik tetanggaku, aku
jadi berfikir betapa mulianya pekerjaan mereka, apalagi jika mereka yakin akan
adanya Tuhan. Kata ibuku ilmu yang bermanfaat itu akan tetap bernilai pahala
walaupun orang yang menyebarkannya telah meninggal. Aku ingin jadi ilmuan, tapi
sepertinya khayalanku terlalu tinggi untuk saat ini. Sekolah saja aku mesti
jualan tahu, h’eeh.. tapi itulah aku.
Seseorang yang selalu punya mimpi, berkat ibuku yang selalu memupuk
mimpi-mimpiku hingga angan tak mampu menampungnya. Ibu memang sumber
motivasiku.
Pada suatu hari ibu pernah berkata padaku “Jadilah bintang yang
selalu terang walau kegelapan meliputi, jadilah bintang yang menyinari setiap langkah-langkah
buta manusia, jadilah bintang yang menjadi penunjuk arah bagi hamba-hamba yang
sedang tersesat, jadilah bintang yang selalu punya mimpi untuk diwujudkan.
Bintang walau kecil tetap bermakna dihati yang penuh rasa, seperti rasa cintaku
padamu yang tak berbatas”.
Meskipun hanya seorang buruh cuci, ibuku sangat antipati terhadap
kebodohan. Ibuku yang sangat keras memperjuangkan impiannya, yaitu aku. Setiap
hari ia habiskan waktunya dengan mencuci, menyetrika, dan berkeliling
mengantarkan pakaian. Setiap hari ia gadaikan asa demi asa untukku. Anak semata
wayangnya yang sekarang masih belum cukup mengerti arti sebuah mimpi. Aku hanya
ingin membuat ibu bahagia. Tapi bukan bahagia menjadi buruh cuci seperti ini.
Mimpinya adalah membuatku menjadi bintang yang sebenarnya. Bintang walau kecil,
tapi sinarnya dinikmaati baanyak manusia. Ya, ibuku ingin aku menjadi orang
yang banyak menebarkan manfaat bagi makhluk hidup dan alam semesta ini. Sangat
cocok dengan mimpiku menjadi seorang ilmuwan. Hatiku tersenyum geli, walau aku
belum pahami apa arti sebuah mimpi.
Bagi pelajar SMP sekaligus penjual tahu sepertiku, bermimpi adalah
hal yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Pasalnya, aku tak tahu bagaimana
cara mewujudkannya. Tapi terkadang juga aku tak mau tahu, aku yakin semua hal
pasti akan menemu celah. Celah untuk maju atau mundur.
Seperti ketika aku dan kawan-kawanku saat akan menyebrang sebuah
jalan yang ramai kendaraan. Terus berlalu lalang seakan tak memberi kesempatan
kami untuk menyebrang.
“Di saat seperti ini kita butuh keyakinan dan kesabaran menunggu
waktu, pasti akan ada celah untuk kita lewati. Seperti hidup, selalu ada
masalah dan hambatan. Ketika kita bisa sabar dan tetap yakin kepada yang
memberi hidup, beruntunglah, saat kesuksesan itu akan dating.” Laki-laki separuh baya di dekatku yang akan
menyebrang juga bergumam entah dengan siapa, tanpa sengaja aku mendengarnya.
Tidak lama kemudian celah sudah datang, dan kami menyebrang.
***
Seperti banyaknya bintang yang sebenarnya, terkadang enggan
menampakkan sinarnya. Pada langit gelap yang muram. Cahaya kecil tak selalu hadir
berjejer dengan teman sesama bintang. Dan aku, tak selamanya bersinar sepanjang
hari. Kini, aku dihadapkan dengan celah yang terbuka lebar. Tetapi aku bingung
tentukan arah, maju atau mundur saja. Sepotong mimpiku telah pergi. Tidak
mungkin untukku kembalikan ibu. Baru saja aku lulus dengan hasil yang
memuaskan. Aku mendapat nilai kelulusan tertinggii. Dan aku masih ingat senyum
kebanggaan di bibirnya. Saat itu aku merasa mimpi untuk membuatnya bahagia akan
segera terwujud. Bukan sebagai buruh cuci. Tapi sebagai seorang ibu yang
memiliki banyak asa pada anaknya. Seorang ibu yang memiliki bintang yang selalu
akan bersinar. Hingga bulir-bulir air itu mengalir melewati pipinya yang mulai
keriput. Ibuku….
“Jadilah bintang yang selalu terang walau kegelapan meliputi,
jadilah bintang yang menyinari setiaplangkah-langkah buta manusia, jadilah
bintang yang menjadi penunjuk arah bagi hamba-hamba yang sedang tersesat,
jadilah bintang yang selalu punya mimpi untuk diwujudkan. Bintang walau kecil
tetap bermakna dihati yang penuh rasa, seperti rasa cintaku padamu yang tak
berbatas”.
Tiba-tiba aku seperti mendengar suara ibu. Celah masih terbuka, dan
aku putuskan untuk tetap maju walau tanpa ibu lagi. Mimpi dan asa ibu tetap
bersamaku. Aku akan selalu menjaga mimpi ini. Mimpi aku dan ibu.
Sekarang, aku mulai pahami apa itu mimpi. Mimpi adalah asa, harapan
yang harus diwujudkan. Akan kuperjuangkan asa-asa yang sempat tergadaikan.
Meski hati ini hancur karena harus kehilangan seseorang yang selama ini menjadi
inspirasiku. Ibuku meninggal karena penyakit paru-paru yang selama ini
mengerogoti tubuhnya. “Sepotong mimpi ini akan kuwujudkan Bu” batinku menyemangati
langkahku.
Walau mimpiku telah terpotong dengan perginya ibu, dan aku belum
sempat membuatnya bahagia dengan tidak menjadi buruh cuci lagi. Saat itu aku
melihat tubuhnya terkulai kaku diantara tumpukkan cucian, tubuhnya basah kuyup.
Aku tersungkur, terisak, tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya melihat wajahnya
yang pucat, garis-garis dipipinya dengan rona lelah. Aku tak tega melihatnya.
Saat itu aku sangat tidak berdaya. Hanya butir-butir cinta dan asaku yang terus
mengalir entah sampai kapan.
Walau hatiku telah hancur dan
tak mampu menyatukannya kembali menjadi hati yang utuh, aku tetap harus
berjuang. Untuk tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja. Meski
langkah-langkah ini digelayuti keraguan. Aku terus mencoba yakinkan tapak-tapak
kecil untuk memberanikan diri menjadi bintang.
Dengan atau tanpa rasa sadar, kini aku benar-benar sendiri. Walau
aku masih yakin akan ada celah untuk bintang. Tapi kini, aku benar-benar
bingung. Akan kemana aku tanpa bu?
tanyaku pada hati. Orang yang selama ini mengajariku tentang hidup. Orang yang
selama ini menunjukkan setiap langkah-langkahku kini telah tiada. Aku mulai
terdiam. Merenungi nasibku saat ini. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa sanak saudara
dan tanpa siapapun. “Aku memang sendiri ‘ gumamku. Tapi hatiku tidak, ternyata
aku masih punya Tuhan. Yang kata ibu, DIA akan selalu menolong dan membantu
hamba-Nya yang memohon pada-Nya dan menaati-Nya.
Semilir angin segar mulai merasuki pori-pori tubuhku yang masih
terlentang di atas dipan berukuran kecil. Sambil memeluk baju ibu yang masih
lekat dengan aroma khasnya. Kokokan ayam saling bersahutan. Aku terbangun
dengan tubuh masih lemah, langkah layu dan masih dengan mimpi yang sama.
***
Setelah dua bulan aku hidup sendiri dengan belas kasihan
tetangga-tetanggaku. Aku memberanikan diri untuk mengadu nasib di kota. Kata
Pak Soleh yang kerja dikota, ada teman majikannya yang sedang mencari orang untuk
menjaga warung bakso. Pak Soleh menawarkan pekerjaan itu padaku, tanpa pikir
panjang aku pun mengiyakannya.
Setelah kurang lebih satu bulan aku bekerja disana, aku masih
menyempatkan diri untuk membaca. Disela-sela kesibukan melayani pelanggan
baksoku. Buku-buku SMA yang pernah kubeli dulu selalu kubawa. Karena memang
seharusnya aku saat ini sekolah. Tapi tak apalah walau harus belajar dengan
keadaan seperti ini. Sesekali Pak Ramdan pemilik warung bakso tempatku bekerja
memergokiku sedang membaca.
“Baca apa tang?” tanyanya kala itu. “Aku sedang belajar Pak” sahutku
sekenanya.
Entah karena kasihan atau empati padaku, Pak Ramdan menawariku untuk
melanjutkan sekolah SMA. Aku sangat bahagia dan terharu. Asaku tumbuh kembali,
sepotong mimpiku semakin mungkin untuk diwujudkan.
“Terimakasih Ya Rabb… Engkau mendengar setiap rintihan doa malamku.
Dan kini Engkau membantuku membuka celah yang hampir tertutup”. Syukurku pada Rabb yang selama ini
selalu menyertaiku.
***
Setiap hari adalah hari yang baru, hari yang berbeda dengan kemarin.
Setiap hari adalah kenyataan yang harus kita syukuri. Aku lanjutkan perjalanan
mewujudkan asa dalam episode ini. Aku teringat senyum ibu dulu. Saat kesuksesan
itu datang. Dan kini, aku sedang melihat senyum itu kembali, dikeluasan
langit-Nya.
“Sebentar lagi aku akan
menjadi bintang seperti harapan ibu dulu…”
Sukarame, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar