“tak ada yang kuingat Tuhan, selain pelangi yang datang
selepas hujan kali ini” Anto berucap pelan dalam sunyi yang belum juga pergi.
Anto, seorang pelukis sederhana yang hanya melukis pelangi.
Ya, pelangi yang datang selepas hujan. Hanya itu yang dapat ia tuangkan dalam
kanvas lukisnya. Sejak dua tahun lalu, kecelakan yang merenggut kedua kakinya
membuatnya hanya bisa duduk dan melukis pelangi. Entah seperti apa kejadian
yang menimpanya itu sehingga ia hanya mampu mengingat pelangi.
Seperti biasa, setiap pagi Anto mempersiapkan perlengkapan
melukisnya. Memandang langit yang masih senyap dengan mentari yang perlahan
muncul dari balik kabut. Menghirup udara pagi yang masih sunyi dan menyegarkan
rongga-rongga hidungnya. Dan Anto mulai melukis. Meliuk-liukkan kuas pada
kanvas, sangat mudah bagi Anto melakukannya, karena hal ini sudah menjadi candu
baginya. Sehari tak melukis pelangi membuatnya kehilangan warna. Ya, kehidupan
yang ia jalani seorang diri.
“Tuhan, pelangi membuatku mampu memuji-Mu dalam detakku”
ucap Anto lirih.
Hari-hari Anto selau berwarna pelangi. Setiap kali matanya
memandang ke langit, dibola matanya hanya ada pelangi. Pelangi yang sangat
indah. Pelangi yang membuatnya tetap menjalani kehidupan dengan sederhana.
Sesederhana hatinya untuk mencintai pelangi. Untuk mencintai pelukis pelangi
dikeluasan langit yang tak akan pernah habis.
“mengapa kau begitu mencintai pelangi. Memandang langit
berlama-lama. Padahal aku tahu, tak ada warnawarni diatas sana, yang kulihat
hanya putih dan biru. Tak seperti katamu, diatas sana selalu ada bianglala
warna membentuk garis lengkung, indah menghiasi langit, membuat bumi tersenyum
dan gembur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar