Ketika itu mentari masih malu-malu memandangku. Hujan
semalam masih menyisakan gigil yang kuyup. Akupun masih enggan beranjak dari
ruangku. Ruang terdalam yang selalu kukunci. Aku masih basah oleh gerimisku
semalam. Langit sedang berbaik hati, semalam diutusnya hujan untuk menemaniku
agar tak terlalu sendu. Agar tak terlalu berisik bermalam dengan duka yang
kerap menganak sungai. Membentuk jalaran di pipi dan guratan kerak di pagi
hari. Karena itulah, mentari masih sangat malu bertamu di ruangku, masih segan
dengan keadaanku yang carut marut. Tapi saat itu aku begitu tenang dengan
hadirnya mentari yang malu-malu. Kupandangi ia dengan separuh kesadaran sebagai
manusia. Aku luruh dalam kehangatan yang menyentuhku sangat hangat. Semoga tak
lekas jadi panas yang membakarku.
Tak bisa begini terus. Aku harus bangun dari mimpimimpi.
Mengingat wajah wajah langit semakin membuatku basah. Basah karena gerimis yang
selalu mencipta sendirinya. Setidaknya aku bisa membuat gambar separuh bulan di
bibirbibir itu. Meski aku luka dan tak berdaya. Karena bahagia mereka adalah
bahagiaku; maka kupaksakan, kumampukan, kukuatkan setiap langkah dan cerita.
Aku akan tetap mengudara dalam kata dan prosa. Semua aku lakukan untuk menabung
bahagia. Jika bukan di dunia, maka akhirat adalah tempat paling abadi dan
terbaik. Surga-lah tempat itu. Tempat terbaik untuk orang baik.
Setiap hari adalah tunas baru bagiku. Siap membentuk
kelapangan dihati sekitar adalah hal paling menyenangkan. Entah, meski masih
bersisa luka hal lain, setidaknya aku bisa benarbenar merasa bahagia saat
kulihat ceria diantara kita. Bahagiamu; bahagiaku. Itu saja. Semoga selalu
tetap begitu.
Wahai kau wajahwajah langit itu. Terimalah persembahan kata
dalam setiap jejak jemari yang terus mengenang. Memanen kata membentuk prosa
yang terus kucerita pada semesta. Kalian wajah langit, akan tetap menjadi
sejarah dalam kehidupan fana ini. Mengantarkanku ke gerbang surga yang penuh
dengan duriduri luka. Aku mencintaimu; wajahwajah langit. Dengan segala yang
ada, segala yang tertakdir. Bahagia dan luka bukan hal yang begitu penting
lagi. Karena aku-kita punya janji. Masuk surga tanpa panas api neraka. Menjadi
batari yang terpilih.
Maka tengadah pada setiap senja dan malam panjang selalu
kukirimkan. Untuk kita; para perindu surga dan bahagia. manusia di dunia ini
tak akan pernah sama. Jadi tak apalah kita yang menyamakan dalam bahagia.
setidaknya semua selalu berdamai dalam cinta. Jagalah hatihati saudarimu
sebagaimana kau dengan tulus menjaga hatimu. Berlapanglapanglah kepada
saudarimu sebagaimana kau selalu melapangkan dan memaklumi setiap kesalahanmu.
Berilah tak hingga alasan untuk selalu mendoakan kebaikan. Karena itulah yang
akan memberatkan kebaikanmu di akhirat; tempat sesungguhnya. Tempat selamanya.
Tempat yang membahagia.
Maka aku akan tetap bercerita. Pada semesta yang memberiku
kesementaraan untuk menabung. Menabung bahagia di surga. Dan kalian; para wajah
langit itu, adalah anugerah terindah yang tertakdir untukku. Tak akan mampu
segala laku atas nikmat ini. Semoga selalu akan membersamaiku dalam kebaikan.
Dalam doa panjang. Dan dalam senyum ketulusan.
Jika kita berbuat baik, tentunya kebaikan pula balasan yang
akan diberikan oleh Allah SWT. ”tidak ada balasan untuk kebaikan selain
kebaikan pula.” (QS. Ar-Rahman;60)
Wajah-wajah langit; kalian adalah orang-orang terpilih untuk
terus menjadi teladan. Tetaplah menjadi yang terbaik. “Sesungguhnya rahmat
Allah Swt amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Mukminun
:96)
Aku mencintai kalian karena Allah. Karena kebaikanNya telah
mengenalkanku pada kalian. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama orang-orang
yang dicintaiNya dan mencintaiNya.
Jazakumullah khairan katsiran… J
29 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar