Gelap malam membasuh bisu jiwamu yang lunglai. Setelah
pertempuran panjang pada hati yang membakar mimpi. Pada mimpi yang tenggelam
pergi. Pada pergi yang kini kau ikuti.
Kau masih saja sesak dalam jejak rembulan malam ini.
Menggelayuti resah yang makin akut menghitam. Sangat tak berbintang malam tanpa
ceritamu. Jemari yang biasa mencandu mimpi kini patah oleh gelap menggulita.
Dan pelangi? entah sampai kapan kau memimpi. Jemari tak lagi
memimpi. Hati tak lagi merasai tentang janji yang belum usai terpenuhi. Tentang
jelaga mantra yang sering terucap pada malam. Malam yang kini membunuhmu
perlahan. Sebagai manusia terpecundang merindukan rembulan.
Kau tahu, terkadang prasangka lebih busuk dari bangkai
manusia. Seharusnya kau dengar kata jemari malam itu; ‘rembulan sebenarnya juga
merindumu’
Jangan bilang kau akan menyesal ketika tahu bahwa rembulan
yang kau tinggalkan telah menghilang. Menghilang dalam laut prasangkamu yang
terlalu dangkal. Terlalu sempit dan akhirnya semua beramsal pada duga yang
terlanjur kau akui.
Kau bukan lagi pejantan tangguh yang dimimpikan. Karena
ketakutanmu terlalu memburu untuk segera melarikan diri. Pergi jauh tanpa tanda
tanya dan jawab yang sebenarnya telah ada.
Jangan lagi kau ulangi ketidakpantasan ini pada jemari yang telah
menuntunmu pada kejujuran nurani.
Pergilah, usah lagi memanen pedih dan duka tak berkesudahan.
Rembulan telah tenggelam. Mengabadi dalam cerita tentang pecundang yang kalah
arang. Pergi jauh dan bawa mimpi untuk kembali kau bangunkan. Mencandu mimpi
dengan jemari yang selalu tulus membenarkan jalan yang seharusnya kau pilih.
Kau dan rembulan. Seharusnya takdir memberi ruang untuk
saling menyatukan. Tapi takutmu terlanjur melaut. Menenggelamkan rembulan yang
mengabut pada mimpi. Semoga lekas kembalikan ingin menjumpai rembulan kembali. Dan
jemari kembali mengingatkanmu ; ‘rembulan masih disini, di ruang terahasia yang
kukunci sendiri’
11 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar