Selasa, 12 November 2013

Kau dan Rembulan



Gelap malam membasuh bisu jiwamu yang lunglai. Setelah pertempuran panjang pada hati yang membakar mimpi. Pada mimpi yang tenggelam pergi. Pada pergi yang kini kau ikuti.

Kau masih saja sesak dalam jejak rembulan malam ini. Menggelayuti resah yang makin akut menghitam. Sangat tak berbintang malam tanpa ceritamu. Jemari yang biasa mencandu mimpi kini patah oleh gelap menggulita.

Dan pelangi? entah sampai kapan kau memimpi. Jemari tak lagi memimpi. Hati tak lagi merasai tentang janji yang belum usai terpenuhi. Tentang jelaga mantra yang sering terucap pada malam. Malam yang kini membunuhmu perlahan. Sebagai manusia terpecundang merindukan rembulan.

Kau tahu, terkadang prasangka lebih busuk dari bangkai manusia. Seharusnya kau dengar kata jemari malam itu; ‘rembulan sebenarnya juga merindumu’

Jangan bilang kau akan menyesal ketika tahu bahwa rembulan yang kau tinggalkan telah menghilang. Menghilang dalam laut prasangkamu yang terlalu dangkal. Terlalu sempit dan akhirnya semua beramsal pada duga yang terlanjur kau akui.

Kau bukan lagi pejantan tangguh yang dimimpikan. Karena ketakutanmu terlalu memburu untuk segera melarikan diri. Pergi jauh tanpa tanda tanya dan jawab yang sebenarnya telah ada.  Jangan lagi kau ulangi ketidakpantasan ini pada jemari yang telah menuntunmu pada kejujuran nurani.

Pergilah, usah lagi memanen pedih dan duka tak berkesudahan. Rembulan telah tenggelam. Mengabadi dalam cerita tentang pecundang yang kalah arang. Pergi jauh dan bawa mimpi untuk kembali kau bangunkan. Mencandu mimpi dengan jemari yang selalu tulus membenarkan jalan yang seharusnya kau pilih.

Kau dan rembulan. Seharusnya takdir memberi ruang untuk saling menyatukan. Tapi takutmu terlanjur melaut. Menenggelamkan rembulan yang mengabut pada mimpi. Semoga lekas kembalikan ingin menjumpai rembulan kembali. Dan jemari kembali mengingatkanmu ; ‘rembulan masih disini, di ruang terahasia yang kukunci sendiri’

11 November 2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar